Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat dengan nama
Sidrap) adalah salah satu
kabupaten di
provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia.
Ibu kota kabupaten ini terletak di
Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19
km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah
suku Bugis
yang ta'at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan
tolong-menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan
masjid yang besar dan permanen.
Sejarah
Berdasarkan
Lontara’ Mula Ri Timpakenna Tana’e Ri Sidenreng halaman 147, dikisahkan tentang seorang raja bernama
Sangalla. Ia adalah seorang raja di
Tana Toraja. Konon Memiliki sembilan orang anak yaitu
La Maddarammeng,
La Wewanriru,
La Togellipu,
La Pasampoi,
La Pakolongi,
La Pababbari,
La Panaungi,
La Mampasessu, dan
La Mappatunru.
Sebagai saudara sulung, La Maddaremmeng selalu menekan dan
mengintimidasi kedelapan adik-adiknya, bahkan daerah kerajaan
adik-adiknya ia rampas semua. Karena semua adiknya tidak tahan lagi
dengan perlakuan kakaknya, mereka pun sepakat meninggalkan Tana Toraja.
Karena perjalanan yang melelahkan, mereka kehausan lalu mencari jalan ke
tepi genangan
air di pinggir
danau.
Namun, danau itu ternyata berada di hutan yang lebat, sehingga sulit
bagi mereka untuk mencapainya. Karena harus menembus semak belukar yang
lebat, mereka pun Sirenreng-renreng (saling berpegangan
tangan).Sesampainya di sana, mereka minum sepuas-puasnya dan duduk
beristirahat kemudian mandi. Setelah itu, mereka berdiskusi bertukar
pikiran tentang nasib yang merka jalani. Akhirnya, mereka sepakat untuk
bermukim di tempat itu. Di sanalah mereka memulai kehidupan baru untuk
bertani, berkebun, menangkap
ikan,
dan beternak. Semakin hari, pengikut-pengikutnya pun semakin banyak.
Tempat itulah yang kemudian dikenal“Sidenreng“, yang berasal dari kata
Sirenreng-renreng mencari jalan ke tepi danau, dan danau itulah yang
sekarang dikenal dengan danau Sidenreng. Dari situ, terbentuk kerajaan
Sidenreng.
Menurut sejarah,
Sidenreng Rappang awalnya terdiri dari dua kerajaan, masing-masing
Kerajan Sidenreng dan
Kerajaan Rappang.
Kedua kerajaan ini sangat akrab. Begitu akrabnya, sehingga sulit
ditemukan batas pemisah. Bahkan dalam urusan pergantian kursi kerajaan,
keduanya dapat saling mengisi. Seringkali pemangku adat Sidenreng justru
mengisi kursi kerajaan dengan memilih dari komunitas orang Rappang.
Begitu pula sebaliknya, bila kursi kerajan Rappang kosong, mereka dapat
memilih dari kerajaan Sidenreng .Itu pula sebabnya, sulit untuk mencari
garis pembeda dari dua kerajaan tersebut. Dialek bahasanya sama, bentuk
fisiknya tidak beda, bahasa sehari-harinya juga mirip. Kalaupun ada
perbedaan yang menonjol, hanya dari posisi geografisnya saja. Wilayah
Rappang menempati posisi sebelah Utara, sedangkan kerajaan Sidenreng
berada di bagian Selatan.
Kedua kerajaan tersebut masing-masing memiliki sistem pemerintahan
sendiri. Di kerajaan Sidenreng kepala pemerintahannya bergelar
Addatuang.
Pada pemerintahan Addatuang, keputusan berasal dari tiga sumber yaitu,
raja, pemangku adat dan rakyat. Sedangkan di Kerajaan Rappang rajanya
bergelar
Arung Rappang
dan menyandarkan sendi pemerintahanya pada aspirasi rakyat. Demokrasi
sudah terlaksana pada setiap pengambilan kebijakan. Demokrasi bagi
kerajaan Rappang adalah sesuatu yang sangat penting, salah satu bentuk
demokrasinya adalah penolakan diskriminasi gender. Perbedaan gender
tidak menjadi masalah, khususnya bagi kaum wanita untuk meniti karir
sebagaimana layaknya kaum pria. Buktinya, adalah emansipasi wanita sudah
ditunjukkan dengan seorang perempuan yang menjadi rajanya, yaitu
Raja Dangku,
raja kesembilan yang terkenal cerdas, jujur, dan pemberani. Wanita yang
kemudian dikenal sukses menjalankan roda pemerintahan di zamannya.
Pada saat pengakuan kedaulatan republik Indonesia oleh
Belanda tanggal
27 Desember 1949, berakhirlah dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Ketika
bumi
Indonesia kemudian melepaskan diri dari belenggu penjajah, ketika pekik
kemerdekaan menggema di seantero nusantara, kerajaan Sidenreng lebih
awal menunjukkan watak nasionalismenya dengan bersedia melepaskan sistem
kerajaan mereka. Padahal sistem itu sudah berlangsung lama, sampai 21
kali pergantian pemimpin. Mereka memilih berubah dan menyatu dengan pola
ketatanegaraan Indonesia. Kerajaan akhirnya melebur menjadi kabupaten
Sidenreng Rappang, dengan bupati pertamanya
H. Andi Sapada Mapangile
dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan Sidenreng Rappang
dilakukan pemilihan umum untuk memilih bupati secara langsung pada
tanggal
29 Oktober 2008 lalu.
Di daerah ini pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup
terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang
adalah semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama
'Nenek Mallomo'.
Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi
kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya
cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih
diabadikan di Sidenreng, yaitu:
Naiya Ade'e De'nakkeambo, de'to nakkeana, artinya:
Sesungguhnya adat itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak.
Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo' ketika dipanggil oleh
Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo' yang mencuri
peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara' La Toa, Nenek Mallomo'
disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-
Makassar lainnya, seperti
I Lagaligo,
Puang Rimaggalatung,
Kajao Laliddo
dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan
Nenek Mallomo' dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya
masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang
disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat
diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para
Pallontara' ahli mengenai buku Lontara') dan tokoh-tokoh masyarakat
adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai
oleh Bupati kedua, Bapak
Kolonel Arifin Nu'mang sebelum tahun
1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.Saat ini SIDRAP dipimpin oleh bupati termuda di Indonesia
H. Rusdi Masse.
Topografi
Kabupaten Sidenreng Rappang terletak pada ketinggian antara 10
m – 1500 m dari permukaan
laut. Keadaan
Topografi
wilayah di daerah ini sangat bervariasi berupa wilayah datar seluas
879.85 km² (46.72%), berbukit seluas 290.17 km² (15.43%) dan bergunung
seluas 712.81 km2 (37.85%).
Perekonomian
Kabupaten Sidenreng Rappang merupakan salah satu sentra penghasil
beras di Sulawesi Selatan. Hal ini terutama didukung oleh jaringan
irigasi teknis yang mampu mengairi sawah sepanjang tahun. Beberapa
jaringan irigasi yang ada di Sidenreng Rappang antara lain:
- Jaringan Irigasi Bulu Cenrana, mengairi 6000 hektar sawah
- Jaringan Irigasi Bila, mengairi 5400 hektar sawah
- Jaringan Irigasi Bulu Timoreng, mengairi 5400 hektar sawah
Selain penghasil utama
beras di
Indonesia Bagian Timur, daerah ini juga merupakan penghasil utama
telur ayam dan
telur itik di luar
Pulau Jawa. Komoditas pertanian lainnya adalah
kakao,
kopra,
mete dan
kemiri.
Irigasi Sungai Bila mengairi 9600 hektar sawah di Kabupaten Sidenreng Rappang
Irigasi Sungai Bulu Cenrana mengairi 6000 hektar sawah di Kabupaten Sidenreng Rappang
Pariwisata
Sidrap memiliki beberapa tempat wisata antara lain:
- Taman Wisata Puncak - Bila Riase. Taman wisata air dengan wahana
sepeda air, kanoe boat, aqua bikes, flying fox, Motor ATV, pemancingan,
waterboo, dan lain-lain.
- Mojong.
- Cekdam - salah satu tempat rekreasi yang baik untuk keluarga karena
memiliki tempat memancing ikan, kafe-kafe, tempat untuk memberi makan
ikan.
- Danau Sidenreng
Taman wisata Puncak Bila Riase